Wednesday, October 3, 2012

Pengamat: Perjelas Makna SARA dalam Kampanye

AppId is over the quota
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga melintas di depan mural ajakan agar memilih calon gubernur yang tidak mengobral janji di salah satu tembok di ajlan Daan Mogot, Jakarta Barat, Selasa (3/7/2012). Ajakan itu juga untuk mengkampanyekan agar warga memilih calon gubernur dengan menggunakan hati.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat komunikasi politik Henry Subiakto mengatakan, perlu ada pendefinisian yang jelas terhadap sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan dalam polemik berkampanye. Menurutnya, pemanfaatan yang tepat soal isu SARA justru dapat membangun kekuatan penting bagi calon peserta pemilihan kepala daerah.

Dosen Universitas Airlangga, Surabaya, itu mengatakan, jika pasangan calon mengeksplorasi latar belakang kesukuan dan agama saja, maka tidak bisa dikategorikan mengangkat isu SARA. Henry mencontohkan satu kasus positif penggunaan isu SARA dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta, yakni keberadaan spanduk di luar Jakarta yang mengingatkan agar warga Jakarta yang tengah mudik tidak lupa memilih salah satu calon gubernur pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.

"Saat mudik, saya menemukan ada spanduk di Jawa Tengah yang mengingatkan supaya jangan lupa memilih salah satu calon gubernur bila kembali ke Jakarta," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (21/8/2012).

Ia berpendapat sah-sah saja bila pasangan calon membidik pemilih yang berasal dari daerah yang sama dengannya. Ia menilai mayoritas masyarakat Jakarta, yang sebagian besar adalah pendatang, dapat dimanfaatkan oleh pasangan calon yang berkompetisi dengan cara berkampanye di luar Jakarta saat mudik. Menurut Henry, yang harus dipertegas adalah definisi pelanggaran kampanye dengan isu SARA.

"Yang bisa dikatakan isu SARA itu bila mengajak untuk membenci atau memusuhi suku atau agama tertentu. Kampanye dengan menyebut stereotyping suku tertentu juga termasuk SARA," katanya.

Henry menganggap positif kampanye yang mengangkat latar belakang kesukuan atau agama dari calon yang bersaing. Ia beralasan bahwa hal itu bisa menunjukkan keberagaman etnis dan kultur di Jakarta yang mayoritas penduduknya adalah pendatang. Namun, dia berharap pemilih tidak memilih gubernur hanya berdasarkan pada kesamaan suku atau agama, tetapi lebih kepada kemampuan dan kapasitas calon yang dinilai bisa memimpin Jakarta.

No comments:

Post a Comment